EPICTOTO — Indonesia Corruption Watch (ICW) baru saja merilis temuan mereka mengenai penegakan hukum tindak pidana korupsi sepanjang tahun 2024. Hasilnya menunjukkan tren yang kurang menggembirakan, dengan beberapa indikator masih memerlukan perbaikan signifikan.
Menurut catatan ICW, terdapat 1.768 putusan kasus korupsi yang meliputi semua tingkat pengadilan. Angka ini hanya mewakili 49,04% dari total perkara yang diselesaikan oleh Mahkamah Agung pada tahun yang sama.
Dari jumlah tersebut, tercatat ada 1.869 terdakwa individu. Yang menarik, hanya enam di antaranya yang merupakan korporasi. Padahal, pedoman pemidanaan bagi badan hukum sudah tersedia melalui PERMA No. 13 Tahun 2016. Temuan ini mengindikasikan bahwa penindakan terhadap korporasi pelaku korupsi masih sangat rendah.
“Penegak hukum tampaknya belum memiliki kesamaan paradigma dalam menangani korupsi yang melibatkan badan hukum,” demikian kesimpulan ICW.
Dilihat dari latar belakang profesi, pelaku korupsi paling banyak berasal dari sektor swasta dengan 603 terdakwa. Posisi berikutnya ditempati oleh pegawai pemerintah daerah (462) dan kepala desa (204). Sementara itu, aktor dengan jabatan strategis seperti anggota legislatif, kepala daerah, dan pejabat BUMN hanya berjumlah 110 orang.
Erma Nuzulia, Staf Hukum ICW, menduga rendahnya angka penindakan terhadap pejabat strategis ini terkait dengan Instruksi Jaksa Agung No. 6 Tahun 2023. Salah satu poin instruksi tersebut mengatur penghentian sementara pengusutan terhadap calon peserta kontestasi Pemilu 2024.
Dari sisi geografis, Sumatra Utara menjadi provinsi dengan putusan korupsi terbanyak (148), diikuti Jawa Timur (129) dan Sulawesi Selatan (123). Di sisi lain, Papua Barat dan DIY mencatat jumlah putusan terendah, masing-masing hanya 17 kasus.
Sektor yang paling rentan adalah utilitas dengan 322 putusan, disusul oleh sektor desa (310), pemerintahan (282), perbankan (153), dan pendidikan (129). Ini menunjukkan bahwa korupsi di tingkat lokal dan sektor pelayanan publik masih sangat marak.
Secara hukum, Pasal 3 UU Tipikor masih paling sering diterapkan (1.123 terdakwa), diikuti Pasal 2 Ayat (1) kepada 437 terdakwa. Namun, rata-rata hukuman yang dijatuhkan relatif ringan, yakni hanya 3 tahun 3 bulan penjara. Vonis terberat tercatat 16 tahun, sementara yang teringan hanya 10 bulan.
“Dua pasal ini dalam praktiknya masih menimbulkan masalah implementasi. Penuntut umum perlu lebih cermat dalam menerapkannya dengan mempertimbangkan kesalahan dan rentetan perbuatan terdakwa,” ujar Erma.
Jenis tindak pidana yang dominan adalah korupsi dengan kerugian keuangan negara (1.601 terdakwa), diikuti suap (98) dan pemerasan (28). Sayangnya, penerapan pasal Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) masih minim, hanya digunakan untuk 25 terdakwa.
Total kerugian negara yang berhasil dihitung ICW mencapai Rp330,9 triliun, dengan kontribusi terbesar berasal dari kasus tata niaga timah di Bangka Belitung senilai Rp300 triliun. Meski demikian, tingkat pemulihan kerugian negara masih sangat rendah, hanya 4,84%, yang terdiri dari denda Rp316 miliar dan uang pengganti Rp16,58 triliun.
ICW menduga rendahnya pemulihan aset ini karena hakim tidak maksimal dalam menerapkan Pasal 18 UU Tipikor tentang uang pengganti. Hanya 63,56% terdakwa yang dikenai kewajiban ini.
Sepanjang 2024, ada 70 vonis bebas dan 20 lepas dari segala tuntutan, termasuk tiga di antaranya melibatkan pejabat strategis. ICW juga mencatat bahwa penjatuhan pidana tambahan seperti pencabutan hak politik masih sangat jarang. Dari 1.869 terdakwa, hanya 14 yang dicabut haknya, sementara 22 pejabat daerah atau legislatif sama sekali tidak mendapatkan sanksi tambahan ini.
Berdasarkan temuan ini, ICW mendesak Kejaksaan dan KPK untuk lebih fokus menangani kasus korupsi sistemik. Mereka juga menekankan pentingnya memaksimalkan penggunaan Pasal 18 UU Tipikor dan UU TPPU guna optimalisasi pemulihan aset. Selain itu, pembahasan RUU Perampasan Aset dan RUU Tipikor serta penguatan mekanisme pencegahan korupsi bagi aktor strategis menjadi rekomendasi mendesak.